•  04 September 2024
  •    
  •  315
Ramai, Ratusan Warga Nantikan Arak-Arakan Lemper Raksasa dalam Rebo Pungkasan

Dalam kalender Jawa, bulan kedua jatuh pada bulan Safar. Disadur dari bahasa Arab, Safar berarti sepi atau sunyi. Sementara itu, di sejumlah daerah di Indonesia, masih banyak yang menyelenggarakan tradisi yang berkaitan dengan Rebo Pungkasan atau Rabu Wekasan pada penghujung bulan Safar. Salah satunya di Kalurahan Wonokromo, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul. 

Rebo Pungkasan merupakan upacara tradisi yang rutin digelar setiap hari Rabu terakhir pada bulan Safar. Upacara ini telah berlangsung sejak tahun 1600an saat pemerintahan masih berada di tangan Sultan Agung. Tahun ini, Rebo Pungkasan jatuh pada 4 September 2024.

Selepas maghrib, warga yang menantikan upacara tradisi Rebo Pungkasan telah berjejer di sepanjang jalan dari area Masjid Al-Huda Karanganom hingga pendopo Kalurahan Pleret. Sebab, di sinilah rute arak-arakan lemper raksasa yang menjadi ikon Rebo Pungkasan.

Lemper raksasa sepanjang 2,5 meter dengan diameter 50 sentimeter diletakkan di atas ancak yang kemudian diarak perlahan. Rombongan kirab beserta uba rampe yang disiapkan warga pun turut mengekor.

Sesampainya di pendopo Kalurahan Wonokromo, perserta upacara bermunajat bersama sebelum memotong lemper raksasa. Dipilihnya lemper dalam upacara tradisi Rebo Pungkasan karena selain menjadi salah satu kudapan yang disenangi Sultan Agung, lemper memiliki makna tersendiri. Lemper merupakan akronim dari yen dialem atimu ojo memper. Artinya, tidak boleh tinggi hati ketika mendapat pujian. Lemper juga simbol perjuangan hidup agar manusia menyingkirkan belenggu sebelum mencecap nikmatnya kehidupan.

Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Bantul, Yanatun Yunadaiana, berujar upacara tradisi Rebo Pungkasan patut dilestarikan karena memiliki filosofi mendalam. Selain itu, upacara ini telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

“Upacara tradisi Rebo Pungkasan ini memang sudah sepatutnya dilestarikan. Apalagi, upacara ini juga sudah masuk dalam warisan budaya tak benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,” ujar Yanatun. (Els)